gadis masker (cerpen)
Penyesalan memang selalu datang
terakhir, hari itu saya bersama gadis masker itu satu bus. Ia begitu asik
saat diajak bicara, meskipun ia jarang
sekali membuka masker dan berbicarapun tak menatap saya. Tatapannya hanya lurus
ke depan searah dengan kursi yang ada di hadapannya. Sesekali ia tertidur pulas
dan kepalanya yang terayun karna kelokan jalan membuatnya bersandar tepat di
bahu saya, itu pertama kali ada gadis yang tidur tepat di pundak saya. Bus pun
terus melaju dengan kecepatan yang sesuai dan bus masuk kearah via tol jalur
Bandung. Ya, memang itu membuat saya dan penumpang lain berputar agak jauh
tidak seperti melewati jalan biasanya.
(sreeettt
cessss) suara bus menghentikan lajunya di sebuah rumah makan di daerah subang
(Rumah Makan NIKI) saya mengantri turun dari penumpang lain yang memang
memiliki tujuan yang sama untuk makan, tetapi tidak dengan gadis masker
tersebut ia hanya menetap di kursi. Saya hendak mengajaknya turun dan makan
bersama saya, tetapi saya urungkan niat saya. Karena saya tau ia tak akan mau
saya ajak makan. Selesai makan, saya melangkahkan kaki menuju bus dan gadis itu
tetap berada di posisinya hanya saja kini ia menatap jendela dengan tatapan
penuh harapan. Sesekali jari telunjuknya menuliskan beberapa huruf di kaca Bus,
lalu ia menghapusnya kembali dengan telapak tangannya. Lagi-lagi ia hanya diam
dan menghela nafas. Tanpa sengaja saat saya melihatnya, tatapannya berada tepat
ke arah saya. Entah, apa itu hanya perasaan saya atau memang itu yang
sebenarnya terjadi. Atau ia sedang
banyak pikiran sehingga ia menuliskan hal tak menentu? Akh, sudahlah itu bukan
urusan saya yang hanya orang asing.
Tak
berapa lama kemudian, supir sudah berada di posisinya hendak menjalankan bus,
saya mematikan rokok yang tepat berada di tangan saya. “gak makan ?” Tanya saya
langsung kepada si gadis masker saat saya telah di dalam bus. “enggak bang, aku
gak laper” jawabnya singkat dan lembut. Tak berapa lama ia mengambil handphone
dari tasnya yang berwarna putih dengan garis hitam. Ia menekan beberapa huruf
di handphonenya dan menelfon temannya untuk urusan kuliah, itu yang saya
ketahui. “emangnya temennya belum tidur ?” Tanya saya lagi ke pokok persoalan.
“kayanya sih, belum…. Bilangnya temen aku sih belum tapi gak tau juga deh
itukan bukan urusan aku, buktinya aja… dia masih angkat telfon aku ?” jawabnya
dengan pasti. “iya juga sih” jawaban saya yang setelah itu terdiam, begitupula
dengan si gadis masker ia lagi-lagi menatap jendela. Tiba-tiba sang kenet
mengumumkan bahwa kami para penumpang diminta untuk membayar Rp 5000,00- untuk
tambahan membeli solar karena jalan yang kami lalui memutar. Semua penumpang
pun segera mengeluarkan lembaran uang, saya merogoh saku celana dan pakaian
saya, namun tak ada uang pas yang bisa saya gunakan “gak ada uang receh bang ?”
tanyanya langsung kepada saya “pakai uang pas saya aja bang” ujarnya lagi
mengeluarkan uang Rp 10.000,00- karena melihat saya mengeluarkan uang Rp
100.000,00- “udah… pakai uang saya aja” ujar saya yang tak enak jika seorang
wanita yang mengeluarkan uang untuk pria. “uang abang terlalu besar nominalnya,
cewe itu juga pakai uang yang sama, dan belum tentu ada kembaliannya bang” ujar
Gadis masker menunjuk kearah wanita di kursi di sebrang saya. “ kamu pakai uang
saya aja” ujar saya memberi ide.
kenet pun menghampiri kursi kami berdua dan gadis masker itu memberikan uangnya
begitupula dengan saya secara bersamaan ke kenet. Namun, kenet itu hanya
tersenyum menatap tingkah kami berdua
“udah, pakai uang aku aja bang, tuh lihat… belum tentu ada uang
kembalinya” ujarnya sembari menampik lengan saya dengan cepat. Saya bingung
harus seperti apa ke gadis masker di sebelah saya yang begitu baik, dan saya
hanya bisa mengucapkan “makasih yaa” kepada gadis masker. Beberapa menit berlalu,
pukul 01:32 gadis masker mulai tertidur kembali. Yang saya tau selama di
perjalanan ia tidak meneguk sedikit air pun. Hanya memakan kacang dan memakan
beberapa butir permen Davos.
“Mampang-Mampang,
yang turun Mampang siap-siap” teriak sang kernet bus, dan itu membuat si gadis
masker terbangun “mau turun di mampang ?” Tanya saya langsung kepada gadis
masker yang masih dalam keadaan ngantuk. “enggak, masih terlalu jauh” ujarnya
menjawab pertanyaan saya dan ia mengambil selembar tisu basah untuk
membersihkan wajahnya yang baru bangun tidur.
Tak sampai
satu jam, bus telah sampai Pondok Labu tempat tujuan akhir saya dengan si gadis
masker. Ia mencoba menghubungi ayahnya untuk meminta jemput, namun sang ayah
tak bisa menjemput karena baru saja tidur. Ia pun di minta untuk menaik taxi.
Semua penumpang mulai turun dan mengantri begitupula dengan saya yang turun
lebih dahulu dan menunggu gadis masker untuk turun. Sebelum melangkahkan kaki
turun , ia mengucapkan terimakasih untuk sang
sopir yang telah mengantarnya. Dan itu membuat saya terkagum karena ia
yang begitu ramah.
“gimana ?
mau naik apa jadinya ? ayah jadi jemput kamu ?” Tanya saya kepada gadis masker
yang begitu lesu
“enggak, saya harus naik taxi” ujar si gadis masker, ingin saya menanyakan
namanya itu, namun saya ragu. Sampai
akhirnya saya menemaninya hingga ia mendapatkan taxi. Taxi pun di dapatkan,
jujur saja… saya ingin sekali mengenalnya. Namun itu terlambat setelah si gadis
masker mengucapkan kata terimakasih kepada saya yang telah menemaninya hingga
menaiki taxi. Taxipun segera berlalu, dan saya berjalan untuk menunggu
angkutan.
Ya, saya
begitu menyesal tak mengenalnya dan tak mengetahui dimana rumahnya
Yang saya
tahu, ia kuliah di UNINDRA jurusan pend. Ekonomi semester 1. Dan ia pulang ke
Gandaria Raya - Jagakarsa, dan ia sempat menyebutkan beberapa daerah yang
sering ia sambangi :: setu babakan, SMK
Daarussalaam, kubah Mas, dan ayahnya seorang pengusaha kecil di bidang telur.
Entah, saya
begitu menyesal tak mengenalnya dan tak meminta nomor yang bisa saya hubungi.
Semoga kelak
saya akan bertemu dengannya kembali dan kami bisa berbincang lebih banyak lagi
(GADIS
MASKER)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar