Senin, 15 Desember 2014

gadis masker (cerpen)



                Penyesalan memang selalu datang terakhir, hari itu saya bersama gadis masker itu satu bus. Ia begitu asik saat  diajak bicara, meskipun ia jarang sekali membuka masker dan berbicarapun tak menatap saya. Tatapannya hanya lurus ke depan searah dengan kursi yang ada di hadapannya. Sesekali ia tertidur pulas dan kepalanya yang terayun karna kelokan jalan membuatnya bersandar tepat di bahu saya, itu pertama kali ada gadis yang tidur tepat di pundak saya. Bus pun terus melaju dengan kecepatan yang sesuai dan bus masuk kearah via tol jalur Bandung. Ya, memang itu membuat saya dan penumpang lain berputar agak jauh tidak seperti melewati jalan biasanya.



(sreeettt cessss) suara bus menghentikan lajunya di sebuah rumah makan di daerah subang (Rumah Makan NIKI) saya mengantri turun dari penumpang lain yang memang memiliki tujuan yang sama untuk makan, tetapi tidak dengan gadis masker tersebut ia hanya menetap di kursi. Saya hendak mengajaknya turun dan makan bersama saya, tetapi saya urungkan niat saya. Karena saya tau ia tak akan mau saya ajak makan. Selesai makan, saya melangkahkan kaki menuju bus dan gadis itu tetap berada di posisinya hanya saja kini ia menatap jendela dengan tatapan penuh harapan. Sesekali jari telunjuknya menuliskan beberapa huruf di kaca Bus, lalu ia menghapusnya kembali dengan telapak tangannya. Lagi-lagi ia hanya diam dan menghela nafas. Tanpa sengaja saat saya melihatnya, tatapannya berada tepat ke arah saya. Entah, apa itu hanya perasaan saya atau memang itu yang sebenarnya terjadi.  Atau ia sedang banyak pikiran sehingga ia menuliskan hal tak menentu? Akh, sudahlah itu bukan urusan saya yang hanya orang asing.



            Tak berapa lama kemudian, supir sudah berada di posisinya hendak menjalankan bus, saya mematikan rokok yang tepat berada di tangan saya. “gak makan ?” Tanya saya langsung kepada si gadis masker saat saya telah di dalam bus. “enggak bang, aku gak laper” jawabnya singkat dan lembut. Tak berapa lama ia mengambil handphone dari tasnya yang berwarna putih dengan garis hitam. Ia menekan beberapa huruf di handphonenya dan menelfon temannya untuk urusan kuliah, itu yang saya ketahui. “emangnya temennya belum tidur ?” Tanya saya lagi ke pokok persoalan. “kayanya sih, belum…. Bilangnya temen aku sih belum tapi gak tau juga deh itukan bukan urusan aku, buktinya aja… dia masih angkat telfon aku ?” jawabnya dengan pasti. “iya juga sih” jawaban saya yang setelah itu terdiam, begitupula dengan si gadis masker ia lagi-lagi menatap jendela. Tiba-tiba sang kenet mengumumkan bahwa kami para penumpang diminta untuk membayar Rp 5000,00- untuk tambahan membeli solar karena jalan yang kami lalui memutar. Semua penumpang pun segera mengeluarkan lembaran uang, saya merogoh saku celana dan pakaian saya, namun tak ada uang pas yang bisa saya gunakan “gak ada uang receh bang ?” tanyanya langsung kepada saya “pakai uang pas saya aja bang” ujarnya lagi mengeluarkan uang Rp 10.000,00- karena melihat saya mengeluarkan uang Rp 100.000,00- “udah… pakai uang saya aja” ujar saya yang tak enak jika seorang wanita yang mengeluarkan uang untuk pria. “uang abang terlalu besar nominalnya, cewe itu juga pakai uang yang sama, dan belum tentu ada kembaliannya bang” ujar Gadis masker menunjuk kearah wanita di kursi di sebrang saya. “ kamu pakai uang saya aja” ujar saya memberi ide.
kenet pun menghampiri kursi kami berdua dan gadis masker itu memberikan uangnya begitupula dengan saya secara bersamaan ke kenet. Namun, kenet itu hanya tersenyum menatap tingkah kami berdua  “udah, pakai uang aku aja bang, tuh lihat… belum tentu ada uang kembalinya” ujarnya sembari menampik lengan saya dengan cepat. Saya bingung harus seperti apa ke gadis masker di sebelah saya yang begitu baik, dan saya hanya bisa mengucapkan “makasih yaa”  kepada gadis masker. Beberapa menit berlalu, pukul 01:32 gadis masker mulai tertidur kembali. Yang saya tau selama di perjalanan ia tidak meneguk sedikit air pun. Hanya memakan kacang dan memakan beberapa butir permen Davos.



“Mampang-Mampang, yang turun Mampang siap-siap” teriak sang kernet bus, dan itu membuat si gadis masker terbangun “mau turun di mampang ?” Tanya saya langsung kepada gadis masker yang masih dalam keadaan ngantuk. “enggak, masih terlalu jauh” ujarnya menjawab pertanyaan saya dan ia mengambil selembar tisu basah untuk membersihkan wajahnya yang baru bangun tidur.



Tak sampai satu jam, bus telah sampai Pondok Labu tempat tujuan akhir saya dengan si gadis masker. Ia mencoba menghubungi ayahnya untuk meminta jemput, namun sang ayah tak bisa menjemput karena baru saja tidur. Ia pun di minta untuk menaik taxi. Semua penumpang mulai turun dan mengantri begitupula dengan saya yang turun lebih dahulu dan menunggu gadis masker untuk turun. Sebelum melangkahkan kaki turun , ia mengucapkan terimakasih untuk sang  sopir yang telah mengantarnya. Dan itu membuat saya terkagum karena ia yang begitu ramah.



“gimana ? mau naik apa jadinya ? ayah jadi jemput kamu ?” Tanya saya kepada gadis masker yang begitu lesu
“enggak, saya harus naik taxi” ujar si gadis masker, ingin saya menanyakan namanya  itu, namun saya ragu. Sampai akhirnya saya menemaninya hingga ia mendapatkan taxi. Taxi pun di dapatkan, jujur saja… saya ingin sekali mengenalnya. Namun itu terlambat setelah si gadis masker mengucapkan kata terimakasih kepada saya yang telah menemaninya hingga menaiki taxi. Taxipun segera berlalu, dan saya berjalan untuk menunggu angkutan.



Ya, saya begitu menyesal tak mengenalnya dan tak mengetahui dimana rumahnya



Yang saya tahu, ia kuliah di UNINDRA jurusan pend. Ekonomi semester 1. Dan ia pulang ke Gandaria Raya - Jagakarsa, dan ia sempat menyebutkan beberapa daerah yang sering ia sambangi  :: setu babakan, SMK Daarussalaam, kubah Mas, dan ayahnya seorang pengusaha kecil di bidang telur.



Entah, saya begitu menyesal tak mengenalnya dan tak meminta nomor yang bisa saya hubungi.



Semoga kelak saya akan bertemu dengannya kembali dan kami bisa berbincang lebih banyak lagi



 



(GADIS MASKER)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar